Free Lines Arrow
Showing posts with label Renungan. Show all posts
Showing posts with label Renungan. Show all posts

Merasa Perlu

Manusia selalu punya rasa untuk dibutuhkan. Eksistensialis. Merasa ada, diprlukan oleh orang sekitarnya, pekerjaannya, lingkungannya, negaranya, bahkan tuhan dan agamanya.

Sayang, kadang perasaan itutampasadar menjadi obsesi dalam hidup kita. Mendominasi pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Dan sangat mungkinkebutuhan menjadi ada itu berada pada tempat yang salah.

Suatu hari, waktu saya masih semester enam di kuliah, Saya pernah di datangi teman saya ke rumah saya. Kebetulan saya sedang mempunyai masalah yang sangat berat. Susah makan, sulit tidur, ingin menjauh dari dunia. Menutup diri setotal totalnya. Tapi beda dengan teman yang lain  yang berusaha menghibur, teman saya ini malah melecehkan saya.

'' Kau pikir lu siapa?'' bentaknya.
''Orang bijak? Pahlawan? Malaikat? Emangnya kalau kau berhenti kuliah, lantas semua masalah kau selesai?Sadar. Kau cumamanusia biasa! Keberadaan kau tidak menjaminpersoalan selesai. Terimalah, ada soal yang bisa kau bereskan, tapi ada banyak soal yang kau harus terima apa adanya, karena kau tak bisa berbuat apa apa,'' cerocosnya dengan logat medan yang kental.

Saya marah semarah marahnya. Mana ada teman yang sejahat itu? Belakangan setelah dia pergi saya mengakui kebenaran bentakannya. Kadang kitamerasa seolah olah diperlukan. padahal, boleh jadi akan lebih baik jika kita tidak ada.


Teman saya sampai sekarang masih sering memaki maki, jika kita ingat masa masa itu lagi.
Dia pun sering menyindir dengan halus ''Apa kabar malaikat? Lihat dunia tidak pernah berkata apa apa saat kau gagal atau menyerah"
Maklum, ego saya terlalu sering merasa penting dalam banyak hal dan peristiwa. Saya lantang berseru "apa kata dunia kalau...." Padahal dunia diam saja, tidak berkata apa apa. Sya saja yang ke Ge-er an. Karena persoalan yang sebenarnya adalah saya saja yang terlalutinggi mengukur diri. Sesekali jika merendah rasanya semua baik baik saja.

Semua orang pasti punya peran, Kadang, kita hanya tak rela menerima peran yang kita tidak sukai. Sebaliknya, kita merasa layak untuk diberi peran yang kita sukai. meski tak begitu adanya. Maka, merasalah ada dengan apapun peran yang di berikan kepada kita. Jangan mengejar peran yang sebenarnya tidak ada.

Menanti Ujung

Seorang teman bercerita tentang perjaka tampan di ibukota. Memang, tak sesempurna aktor muda indonesia yang kaya karena kariernya, menikahi wanita cantik, dan mapan. Tapi perjaka yang diceritakan teman saya ini juga bukan orang biasa.

Tampangnya yang rupawan, mapan, pergaulan yang luas, dan tentunya sangat berbakti kepada orang tuanya. Sayang, ada suatu hal yang membuatnya putus asa. Cintanya tidak berujung bahagia. Berkali kali mencari, berkali kali juga kehilangan. Berulang kali membangun relasi, berulang kjali juga di campakan.

Keputus-asaannya ini akhirnya diceritakannya pada ibunya, sehingga membuat ibunya juga patah hati.
"Ibu" tuturnya sendu, " Aku tak tahu apa yang sudah terjadi. Semua telah aku lakukan, tapi semuanya juga gagal. Maka bebaskan lah aku dari harapanmu untuk memiliki cucu dari ku. Sekarang aku mau mengabdikan hidupku untuk Tuhan saja, Aku mau hidup selibat( tidak menikah)
Sang ibu terdiam, tergugu mendengar penuturan anaknya yang putus asa total. kehilangan harapan dalam kepedihan, kemudian ibunya membiarkan anaknya larut dalam kepedihan. Dalam hati dia memanjatkan doa tulus untuk menolong anaknya. Doa yang akhirnya mengubah segala galanya.


perjaka yang saya ceritakan itu sekarang hidup bahagia. Hanya beberapa bulan setelah pernyataan keputus asaannya kpd ibunya, dia dikenalkan pada seorang gadis. Dan gadis itu juga memenuhi segala kriterianya. tak sampai setahun dia sudah merasa cocok dan melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Terowongan gelap itu telah ia lewati, dan ada cahaya di ujungnya. Memang, tak semua kita seberuntung perjaka itu. Ada kalanya kita frustasi menanti sinar di ujung lorong yang kita lalui, tapisinar itu tak kunjung terlihat. Sementara dada ini sudah sesak berlama lama di terowongan gelap gulita. Adalah pilihan kita untuk memutuskan cahaya itu ada atau tidak, Bersabar sampaibenar benar di ujung terowongan dengan ketidak adaan sinar dan akhir yang heppy ending.
Tapi, bukankah hidup ini baru terasa hidup dan menarik karena misteri misterinya.

"Habis Manis Sepah dibuang"


Tiap kali kita tergiur akan manisnya air tebu, kita harus berupaya memerasnya dari batangnya. Setelah tebu dihisap sampai airnya  habis, yg tersisa hanya serat, memakannya adalah satu tindakan yang sangat bodoh. Sepah begitulah kita menamakannya. Sepah yang hanya pantas untuk dibuang.
Realita kehidpan tersebut, di adopsi oleh para pemikir  menjadi peribahasa yang sangat terkena; yaitu "HABIS MANIS SEPAH DIBUANG".

Apakah wajar membuang sepah setelah menikmati manis airnya??
Jahatkah manusia yg membuang serat tebu setelah mereguk manisnya??
Salahkah Tuhan menakdirkan tebu menyimpan cairan manis dlm seratnya??
Itu adalah hal yang sangat normal dan wajar karena tak ada lagi pilihan lain, dan itu adalah hal yang sangat lumrah karena hanya untuk itulah pengabdiannya


Sia-sia kita gugat kenapa tebu ditakdirkan bersepah. Sejauh dia bisa hasilkan cairan manis habis perkara & itu konsekwensi atas perannya di dunia. Bukan karena dia tidak dibutuhkan lagi, tapi memang hanya smpai disanalah perannya.
Jadi tidak ada yang jahat dan tidak ada yang tidak adil. Kita semua punya peran yang dibtasi dimensi ruang dan waktu. Jadi jika peran kita sudah selesai, tidak perlu merasa dicampakan. Kita hanya bersiap untuk menghadapi datangnya waktu kita akan selesai dan bersiaplah suatu saat kita pasti akan menjadi sepah.

Statistic

Traffic

free counters

Tukar Link

Google PageRank Checker